Beranda

Purna Praja IPDN Angk. XVIII

Purna Praja IPDN Angk. XVIII

Selasa, 14 Juni 2011

Perijinan Pembangunan Kawasan



Kombaitan (1995) menjelaskan bahwa perijinan pembangunan pada suatu kawasan tertentu dalam berbagai unit kegiatan budidaya dan tingkatan skalanya terkait erat dengan lingkup penataan ruang. Terutama pemanfaatan ruang dan pegendalian pemanfaatan ruang.
            Adapun ijin pembangunan kawasan itu sendiri menurut Kombaitan, dapat dikelompokkan menjadi 3-4 bagian sebagai berikut:
1.    Ijin Kegiatan/ Sektor
Merupakan persetujuan pengembangan aktivitas atau kegiatan yang menyatakan bahwa aktivitas budidaya yang akan mendominasi kawasan tersebut memang layak dan sesuai atau masih dibutuhkan atau bidang yang terbuka di wilayah tempat kawasan itu terletak. Ijin ini diterbitkan instansi pembina/pengelola sektor terkait dengan kegiatan dominan tadi. Tingkatan instansi ditetapkan sesuai aturan aturan di Departemen/Lembaga terkait. Pada prinsipnya dikenal 2 tingkatan ijin kegiatan/sektor, yakni;
a.    ijin prinsip,  merupakan persetujuan pendahuluan yang dipakai sebagai kelengkapan persyaratan teknis permohonan ijin lokasi.
b.    ijin tetap, merupakan persetujuan akhir bagi suatu kegiatan untuk beroperasi setelah ijin lokasi diperoleh. Setelah ijin tetap atas suatu kawasan budidaya diperoleh, selanjutnya tiap jenis usaha rinci yang akan mengisi kawasan secara individual, perlu memperoleh Ijin Usaha sesuai karakteristik tiap kegiatan usaha rinci.
2.    Ijin Pertanahan
Diawali dengan ijin lokasi dan dilanjutkan dengan penerbitan sertifikat hak atas tanah.
a.    ijin lokasi, merupakan persetujuan lokasi bagi pengembangan aktivitas/sarana/prasarana yang menyatakan kawasan yang dimohon pihak pelaksana pembangunan atau pemohon sesuai untuk dimanfaatkan bagi aktivitas dominan yang telah memperoleh ijin prinsip.
b.    hak atas tanah, walaupun sebenarnya bukan merupakan perijinan namun dapat dianggap sebagai persetujuan kepada pihak pelaksanan pembangunan untuk mengembangkan kegiatan budidaya diatas lahan yang telah diperoleh.
3.    Ijin Perencanaan dan Bangunan
a.    ijin perencanaan, inilah ijin pemanfaatan ruang yang sebenarnya karena setelah ijin lokasi menyatakan kesesuaian lokasi bagi pengembangan aktivitas budidaya dominan, ijin perencanaan  menyatakan persetujuan terhadap  aktivitas budidaya rinci yang akan dikembangkan dalam kawasan.
b.    ijin mendirikan bangunan, setiap kawasan budidaya rinci yang bersifat binaan (bangunan) kemudian perlu memperoleh IMB jika akan dibangun. Perhatian utama diarahkan pada kelayakan struktur bangunan melalui Rekayasa Rancangan Bangunan;



4.    Ijin Lingkungan
Pada dasarnya merupakan persetujuan yang menyatakan aktivitas budidaya  rinci yang terdapat dalam kawasan yang dimohon “layak” dari segi lingkungan hidup. Ada 2 macam jenis Ijin lingkungan;
a.    ijin HO/ Undang-undang Gangguan, terutama untuk kegiatan usaha yang tidak mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup (bukan proyek AMDAL).
b.    persetujuan RKL dan RPL, untuk kawasan yang bersifat kegiatan budidaya rinci yang berada didalamnya secara sendiri-sendiri maupun besama-sama berdampak penting terhadap lingkungan hidup.

Senin, 13 Juni 2011

PKL RIWAYATMU KINI


I.            Latar Belakang
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.[1]
Persoalan PKL yang bermuara pada kemiskinan dan kesempatan kerja tidak terlepas dari konteks globalisasi, krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan kesenjangan pembangunan kota-desa di Indonesia. Dalam konteks globalisasi terjadi kesenjangan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan antara masyarakat negara maju dengan negara berkembang. Masyarakat negara maju (1/3 dari jumlah penduduk dunia) menguasai 80% sumber daya dibanding dengan masyarakat negara berkembang (2/3 dari jumlah penduduk dunia), akibat kesenjangan yang tinggi pembangunan yang diformulasikan dulu dinyatakan gagal karena pembangunan justru semakin meningkatkan penduduk miskin, pengangguran, ketidakadilan jender, penyakit menular, angka putus sekolah dan pencemaran lingkungan.
Menghadapi permasalahan global tersebut negara-negara berkembang dan negara-negara maju sepakat untuk merumuskan 8 tujuan pembangunan milenium atau yang dikenal dengan nama MDG (Milenium Development Goals). Negara-negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa berikrar bahwa pada tahun 2015 akan:
1.     Memberantas kemiskinan dan kelaparan.
·         Mengurangi sampai setengah jumlah penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari satu dollar perhari.
·         Mengurangi sampai setengah jumlah penduduk yang kelaparan.
2.     Mewujudkan pendidikan dasar bagi semua.
·         Menjamin agar semua anak perempuan dan laki-laki menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.
3.     Mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan.
·         Menghapus ketidaksetaraan jender dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005, dan di semua tingkat pendidikan pada tahun 2015.
4.     Mengurangi tingkat kematian Anak.
·         Mengurangi dua pertiga dari angka tingkat kematian anak di bawah usia lima tahun.
5.     Meningkatkan kesehatan Ibu.
·         Mengurangi tiga perempat dari angka tingkat kematian ibu.
6.     Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain.
·         Menghentikan dan mengurangi laju penyebaran HIV/AIDS.
·         Menghentikan dan mengurangi laju penyebaran malaria serta penyakit menular utama lainnya.
7.     Menjamin kelestarian lingkungan.
·         Mengitegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program-program di tingkat nasional serta mengurangi perusakan sumber daya alam.
·         Mengurangi sampai setengah jumlah penduduk yang tidak memiliki akses kepada air bersih yang layak minum.
·         Berhasil meningkatkan kehidupan setidaknya 100 juta penghuni kawasan kumuh pada tahun 2020.
8.     Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Namun setelah berjalan selama 7 tahun target MDG 2015 jauh dari harapan, Negara berkembang seperti Indonesia semakin sulit keluar dari kemelut kemiskinan, pengangguran bertambah besar, investasi yang diharapkan tak kunjung datang dan pencemaran lingkungan semakin meningkat.
Kebijakan perbankan domestic pun tidak mendukung iklim usaha sehingga uang menumpuk Rp 281 Triliun di Bank Indonesia. BI mencetak uang untuk membayar bunga uang deposito, keuntungan saham, dan berbagai macam portofolio lain. Sektor moneter mobilitasnya tinggi namun sector real berjalan di tempat. Fundamental ekonomi Indonesia semakin mengkhawatirkan.
Sektor riil yang tidak didukung dengan kebijakan perbankan, kepastian hukum dan iklim yang kondusif untuk berusaha menyebabkan tutupnya berbagai macam usaha di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya didukung oleh konsumsi minus investasi. Konsumsi rakyat saat ini sebagian besar dicukupi oleh impor barang.
Karena perkembangan sektor moneter dan lalu lintas impor hanya berada di beberapa kota metropolitan di Indonesia, maka pertumbuhan ekonomi dan uang yang beredar juga hanya berada di Kota metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Makasar.
Pertumbuhan kota metropolitan seperti Jakarta memberikan effect domino pada kota-kota sekitarnya. Kedudukan Bogor yang berdekatan dengan Jakarta, iklim Bogor yang sejuk dan beberapa tempat wisata yang menarik di Bogor menyebabkan masuknya pendatang dari berbagai macam daerah ke Bogor. Pendatang yang masuk sebagian memiliki skill tinggi dan sebagian lagi tidak memiliki tingkat pendidikan tinggi. Migran yang berskill tinggi masuk pada sektor formal dan memberikan dampak positif bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Migran berskill rendah masuk pada sektor informal seperti PKL tidak memberikan tambahan income banyak pada daerah, merusak estetika kota dan menimbulkan kemacetan kota.
Berdasarkan paparan diatas ada dua fakta yang perlu dicermati yaitu tumbuhnya sektor informal karena kondisi sektor riil Indonesia yang tidak kondusif sehingga menyebabkan banyak pabrik yang tutup dan menimbulkan pengangguran serta kedudukan Bogor yang dekat dengan ibukota sehingga menjadi daya tarik sendiri bagi perantau. Kedua sebab diatas menyebabkan menjamurnya sektor informal seperti pedagang kaki lima di Bogor.
Sebenarnya banyak sebab lain namun kenapa sebab tersebut yang diangkat?
  1. Karena sebab tersebut tidak dapat diintervensi oleh Kota Bogor karena kondisi tersebut berasal dari jangkauan dan kekuasaan lebih besar yakni fenomena global, krisis di Indonesia dan kesenjangan pertumbuhan kota-desa.
  2. Agar kita dapat melihat persoalan PKL dengan kacamata yang lebih integral dan memberikan solusi yang komperensif melihat berbagai pendekatan dan bidang.
II.        Membaca PKL dengan cara Holistic
Fenomena PKL yang akan terus terjadi di Kota Bogor akan menyulitkan Pemda Bogor. Walaupun Perda sudah dikeluarkan 2 tahun lalu namun jumlah PKL semakin banyak bahkan saat ini sudah mendekati angka 15.000 orang. Dead line yang diberikan Walikota Bogor untuk menuntaskan masalah PKL terakhir Oktober 2007 tidak akan dapat menyelesaikan masalah sampai ke akar kalau pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kekerasan.
Pendekatan kekerasan yang akan dilakukan Pemkot Bogor justru akan menjadi boomerang bagi pertumbuhan ekonomi Bogor dan daya tarik Bogor bagi pendatang berskill tinggi. Ketidakstabilan, anarkisme dan ketidaktentraman akan menurunkan citra Bogor sebagai salah alternatif kawasan pemukiman favorit.
Upaya menata PKL di Kota Bogor bukanlah hal yang mudah. Program penanganan yang bersifat parsial jelas hanya akan melahirkan masalah baru, sedangkan bentuk perlindungan dan sikap belas kasihan yang berlebihan dikhawatirkan juga akan menimbulkan bentuk ketergantungan baru yang dapat menghilangkan mekanisme self-help kaum migran yang masuk dalam kategori miskin.
Oleh karena masalah PKL harus dilihat dari berbagai macam sudut pandang atau holistic agar dihasilkan win-win solution.
Beberapa pendekatan teorits yang perlu ditelaah berkenaan dengan PKL adalah
1.       Pendekatan Kebutuhan
Menurut Teori Kebutuhan Maslow, kebutuhan manusia terbagi atas lima tingkatan.
Ø       Kebutuhan fisiologis
Ø       Teoritis: makan, minum, perumahan, seks, istirahat
Ø       Terapan: ruang istirahat, udara bersih, air untuk minum, cuti, balas jasa, jaminan social periode istirahat

Ø       Kebutuhan keamanan dan rasa aman
Ø       Teoritis: perlindungan dan stabilitas
Ø       Terapan: pengembangan karyawan, kondisi kerja yang aman, serikat kerja, rencana senioritas, jaminan pensiun, asuransi

Ø       Kebutuhan social
Ø       Teoritis: cinta, persahabatan, perasaan memiliki dan diterima dalam kelompok
Ø       Terapan: kelompok kerja formal dan informal, acara peringatan

Ø       Kebutuhan harga diri
Ø       Teoritis: status atau kedudukan, kepercayaan diri, pengakuan, reputasi
Ø       Terapan: kekuasaan, ego, promosi, hadiah, status, symbol, penghargaan

Ø        Kebutuhan aktualisasi diri dan pemenuhan diri
Ø       Teoritis: penggunaan potensi diri, pengembangan diri
Ø       Terapan: menyelesaikan penugasan-penugasan yang bersifat menantang, melakukan pekerjaan kreatif, pengembangan keterampilan

Gambar 1. Hirarki Kebutuhan Maslow[2]
Manusia akan memenuhi kebutuhan fisiologis terlebih dahulu sebelum masuk kepada kebutuhan selanjutnya. Kebutuhan PKL masih berkisar pada kebutuhan fisiologis, mereka berdagang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sedangkan kebutuhan Pemkot sudah mencapai kebutuhan terakhir yaitu aktualisasi diri menyelesaikan tugas-tugas yang menantang, pekerjaan yang kreatif dsbnya. Dari segi kebutuhan terjadi gap yang besar antara PKL dan Pemkot. Namun ketika berbicara mengenai perut, orang dapat berbuat apa saja ketika lapar, hal tersebut harus menjadi perhatian Pemda Bogor-bukankah kemiskinan itu lebih dekat pada kekufuran.
2.     Pendekatan Kepemimpinan
Strategi Kepemimpinan yang efektif menggunakan manajemen partisipatif dikemukakan oleh Douglas McGregor dalam bukunya the human side of enterprise, konsepnya yang paling terkenal adalah strategi kepemimpinan dipengaruhi anggapan-anggapan seorang pemimpin tentang sifat dasar manusia. Anggapan pemimpin menangani yang dipimpin ada dua yaitu:
Teori X:
a.   Rata-rata pembawaan manusia malas atau tidak menyukai pekerjaan dan akan menghindarinya kalau mungkin
b.  karena karakteristik manusia demikian, orang harus dipaksa, diawasi, diarahkan atau diancam dengan hukuman agar mereka menjalankan tugas untuk mencapai tujuan organisasi
c.   rata-rata manusia lebih menyukai diarahkan, ingin menghindari tanggungjawab, mempunyai ambisi relative kecil dan menginginkan keamanan atau jaminan hidup di atas segalanya
Teori Y:
  1. Penggunaan usaha fisik dan mental dalam bekerja adalah kodrat manusia, seperti bermain dan istirahat
  2. pengawasan dan ancaman hukuman eksternal bukanlah satu-satunya cara untuk mengarahkan usaha pencapaian tujuan organisasi. Orang akan melakukan pengendalian diri dan pengarahan diri untuk mencapai tujuan yang telah disetujuinya.
  3. keterikatan pada tujuan merupakan fungsi dari penghargaan yang berhubungan dengan prestasi mereka
  4. ada kapasitas besar untuk melakukan imajinasi, kecerdikan dan kreatifitas dalam penyelesaian masalah.
Menurut Penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Bogor Tahun 2002 karakteristik PKL di Bogor adalah memiliki daya juang tinggi dan mampu bertahan pada kondisi yang kritis sekalipun. Berdasarkan karakteristik tersebut maka PKL termasuk masyarakat bertipe Y karena itu pendekatan kepemimpinan yang digunakan seharusnya adalah kepemimpinan yang partisipatif bukan pendekatan kekerasan sepeti yang dilakukan saat ini.

3.     Pendekatan Daya Beli Masyarakat dan IPM
Salah satu segi positif PKL adalah memberikan kemudahan mendapatkan barang dengan harga terjangkau. Apabila Kota Bogor ingin bebas dari PKL maka Kota Bogor harus memberikan alternatif tempat membeli barang dengan harga yang murah khususnya pada warga golongan menengah bawah. Apabila masyarakat dipaksakan untuk membeli barang yang harganya lebih tinggi daripada membeli di PKL maka daya beli masyarakat akan berkurang dan akan merembet pada bidang lain terutama kesehatan dan pendidikan. Misalnya saja dengan harga Rp 1000 masyarakat akan mendapatkan 4 ikat sayur bayam di PKL namun jika di supermarket masyarakat hanya mendapatkan 1 ikat. Hal tersebut tentu akan menurunkan indeks daya beli dan juga indeks kesehatan karena kebutuhan membeli sayur untuk meningkatkan gizi juga otomatis berkurang. Contoh tersebut terlihat kecil namun jika setiap hari terjadi maka cash flow nya juga tentu akan tinggi. Apabila daya beli berkurang dan masyarakat rawan penyakit maka IPM tentu akan menurun padahal Gubernur Jawa Barat menargetkan IPM Jawa Barat pada tahun 2010 harus mencapai 80 (IPM Bogor 2005 = 74,94).
III.    Segudang Permasalahan PKL
Segudang permasalahan PKL antara lain:
a.       Penggunaan ruang publik bukan untuk fungsi semestinya dapat membahayakan orang lain maupun PKL itu sendiri
b.      Pencemaran yang dilakukan sering diabaikan oleh PKL
c.       Sebagian besar PKL tidak mendapat perlindungan dari ancaman jiwa, kesehatan maupun jaminan masa depan. Resiko semacam itu belum mendapat perhatian karena perhatian masih tertuju pada pemenuhan kebutuhan pokok
d.      Kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat antara pengusaha yang membayar pajak resmi dengan pelaku ekonomi informal yang tidak membayar pajak resmi (walaupun mereka sering membayar ”pajak tidak resmi”), contohnya ada dugaan bahwa pemodal besar dengan berbagai pertimbangan memilih melakukan kegiatan ekonominya secara informal dengan menyebarkan operasinya melalui unit-unit PKL (Pikiran Rakyat, 3/11/04)
e.       Ketiadaan perlindungan hukum menyebabkan pekerja di ekonomi informal rentan eksploitasi, baik pelaku di PKL itu sendiri, rekanan usaha dari sektor formal maupun dari oknum tertentu baik dari pemegang kebijakan lokal yang resmi maupun preman
f.        Mobilitas sebagian PKL di satu sisi merupakan alat survival namun di sisi lain menyulitkan upaya pemberdayaan
g.       Timbulnya ”parallel structure” yaitu kerangka aliran uang yang berupa setoran di luar aliran uang resmi atau pajak ke pemerintah. Hal tersebut menyebabkan ketergantungan sebagian oknum pemerintah pada keberadaan PKL
IV.      Beberapa Alternatif Penanganan PKL
Paper ini merupakan langkah awal untuk mengadakan penelitian yang lebih komperensif dalam menyikapi keberadaan PKL.
Selama ini pendekatan yang telah dilakukan untuk menangani PKL antara lain:
a.      Prosperity Approach (Pendekatan Kesejahteraan) yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor dari tahun 2002 selama 2 tahun dengan 3 kali siklus.[3] Pendekatan tersebut pada awalnya mendapat antusias PKL namun waktu yang diberikan untuk naik dari sektor informal menjadi sektor formal hanya dua tahun, padahal dalam penelitian mengenai kewirausahawan, rata-rata pengusaha dapat eksis setelah berdagang selama 3 tahun dan memberikan penghasilan yang lebih di luar kebutuhan pokok mereka setelah berusaha lebih dari 5 tahun.
b.      Penanggulangan PKL yang difokuskan pada relokasi PKL dalam wilayah pasar tahun 2006 dengan total biaya 1,039 M (untuk biaya penertiban) + 1,525 M (untuk lokasi taman pasca PKL)[4]. Pendekatan tersebut sepertinya lebih pada pendekatan proyek. Pendekatan kesejahteraan yang dicita-citakan tidak terlihat yang ada baru pada estetika kota, seperti mempercantik taman kota, pengadaan pot besar untuk menghalangi PKL perdagang di situ.
c.       Penelitian yang dilakukan oleh BAKORSUTANAL, mengenai Klasifikasi dan Kajian Spasial Kawasan PKL di Kota Bogor. Mengenai pendekatan penertiban, penataan dan pembinaan di Kota Bogor. Kajian tersebut melihat PKL pada aspek fisik dimana PKL tersebut berada.[5] Pendekatan tersebut baik untuk jangka pendek namun tidak akan bertahan lama dalam jangka panjang karena arus migran yang masuk ke Kota Bogor tidak diperhitungkan.
Pendekatan yang digunakan untuk penangangan PKL pada makalah ini mengacu pada aspek fisik dan non fisik. Integrasi pendekatan ini dinamakan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan kebutuhan generasi yang akan datang.
Pendekatan Pembangunan berkelanjutan antara lain yaitu:[6]
a.     Ketegasan dan Konsisten Pemda Kota Bogor
Di ruas jalan yang jelas-jelas disebutkan tidak boleh ditempati PKL atau bebas PKL, sejak dini harus dilakukan pengawasan secara terus-menerus. Sebelum jumlah PKL yang mangkal di daerah terlarang bertambah banyak, maka aparat disertai dengan masyarakat dapat segera mengambil langkah-langkah pengawasan dan penindakan.
Di wilayah di mana jumlah PKL sudah telanjur banyak, biasanya upaya penindakan yang dilakukan akan jauh lebih sulit dan membutuhkan energi serta dana yang jauh lebih besar. Sistem deteksi dini ini tentu saja baru dapat berjalan dengan efektif jika pihak penduduk disekitar lokasi juga diberi dukungan, baik fasilitas fisik maupun sumber daya manusianya.
Di wilayah kecamatan yang termasuk jalur rawan dijejali PKL dan masih termasuk jalur utama yang dinyatakan bebas PKL, maka jumlah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang diperbantukan bagi kecamatan harus lebih besar daripada kecamatan yang terletak di pinggiran kota.
Oleh karena itu, yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana mengkolaborasikan antara fungsi pembinaan, pengawasan, dan fungsi preventif, serta fungsi penindakan itu sendiri untuk situasi khusus. Yang dimaksud fungsi pembinaan adalah bagaimana upaya yang dikembangkan pemkot terhadap kelompok PKL binaan tidak hanya sekadar memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.
Adapun yang dimaksud fungsi pengawasan adalah upaya pemkot untuk terus-menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota. Tujuannya, supaya dapat diperoleh data akurat dan up to date tentang keadaan PKL.
Sementara yang dimaksud fungsi preventif adalah upaya pemkot untuk mencegah arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota. Yaitu dengan cara mengembangkan kerja sama dengan daerah hinterland untuk mengurangi kesenjangan desa-kota agar tidak makin menyolok.
Salah satu bentuk ketegasan yang baik yaitu  PKL di Bangkok. PKL di Bangkok tidak dipungut retribusi, namun mereka diwajibkan menjaga kebersihan lingkungan. Mereka yang melanggar, didenda antara Rp 50.000 dan Rp 200.000, untuk setiap kali pelanggaran. Seorang pedagang K-5 di kawasan Banglamphu di pusat kota Bangkok dapat di denda hanya karena menjatuhkan es batu di jalan. Dan petugas Pamong Praja (PP) dilengkapi dengan peralatan kamera untuk membuktikan kelakuan PKL. petugas juga tidak mengenal kompromi. Uang denda diperuntukkan bagi petugas PP sebagai tambahan insentif.
b.      Pendekatan  vertikal
Guna mengatasi persoalan PKL, upaya penataan yang dapat dilakukan dapat dilakukan secara vertikal. Secara vertikal antara lain menyangkut perbaikan dari segi perijinan, pembinaan, dan pemberian bantuan kepada para pkl. Perijinan bagi aktivitas Pedagang kaki lima dalam melakukan usahanya didasari atas pertimbangan agar memudahkan dalam pengaturan, pengawasan dan pembatasan jumlah; membantu dalam penarikan retribusi. Pemberian surat ijin usaha ini telah diterapkan di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Philipina.
c.      Daya dukung lingkungan
Betapa pun harus disadari bahwa terjadinya urbanisasi berlebih (over urbanization) di Kota Bogor adalah imbas dari persoalan yang muncul di desa asal migran. Akibatnya, sepanjang persoalan di daerah asal itu tidak ditangani dengan baik, maka kebijakan "pintu tertutup" yang dikembangkan kota besar di mana pun tidak akan pernah mampu mengurangi arus migrasi.
Bagi PKL yang berada di kawasan tertentu yang masih memungkinkan untuk ditoleransi, kebijakan penataan yang realistis adalah dengan program rombongisasi atau tendanisasi. Meskipun program ini bukan jalan keluar yang terbaik bagi ketertiban kota, program ini paling realistis karena dapat mengompromikan kepentingan PKL agar tetap diperbolehkan berdagang di kawasan ramai. Sementara pada saat yang sama keindahan kawasan itu tetap terjaga karena para PKL bersedia diatur sedemikian rupa.
Keberadaan PKL dirasakan perlu dengan syarat tidak mengganggu ruang publik yakni fungsi bahu jalan untuk pejalan kaki dan fungsi jalan bagi kendaraan bermotor. Karena itu perlu dihitung berapa daya dukung bahu jalan bagi PKL agar PKL tetap dapat berdagang dan masyarakat tidak diganggu hak publiknya.
d.     Corporate Social Responsibility (CSR)
CSR merupakan metode yang saat ini sangat berkembang untuk meminta pertanggungjawaban sosial kepada perusahaan terhadap pencemaran lingkungan yang dilakukannya. Metode tersebut dapat digunakan untuk melihat permasalahan PKL yang juga bagian dari permasalahan lingkungan. Misalnya
·         Developer atau pengembang memberikan kesempatan kepada PKL untuk berjualan di kawasan pemukiman yang dibangunnya, salah satu kasus yang menarik di Budi Agung. Pedagang sayur boleh berdagang di tempat strategi di kompleks tsb dengan jam jualan yang dibatasi (jam 6-8 pagi) dan jumlah pedagang yang juga dibatasi. Harga produk yang dipasarkan pedagang lebih tinggi dari di pasar dan lebih rendah dari pedagang sayur keliling.
·         Penggunaan kantor-kantor swasta, pemerintah dan lembaga non profit lainnya untuk PKL ketika kantor tersebut sudah tutup. Dengan catatan setelah berjualan tempat harus bersih dan rapi seperti sedia kala dan menggunakan desain tenda yang temporer.
·         Setiap mal menyediakan lahan khusus untuk pedagang kaki lima.
·         Setiap pom bensin menyediakan tempat untuk alokasi sektor informal
e.      Aspiratif
Dalam perencanaan tata kota, relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL  mulai dari tahap penentuan lokasi hingga kapan harus menempati. Rekomendasi kebijakannya adalah penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan akses ke proses pengambilan keputusan. Pemerintah mestinya serius untuk mendengarkan aspirasi para PKL melalui paguyuban-paguyuban PKL di lokasi masing-masing sehingga program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadi sia-sia belaka.
f.        Pemberdayaan Ekonomi
Arus uang illegal dari PKL ke preman, oknum PP, polisi atau tentara seharunya ditiadakan. Arus uang illegal tersebut dapat digantikan oleh tabungan pemberdayaan ekonomi PKL. Tabungan tersebut bertujuan agar PKL dapat memiliki lahan sendiri untuk berdagang kedepannya sehingga tidak terus menerus sampai tua dikejar-kejar aparat karena berdagang di tempat yang ilegal. Formulasinya adalah setiap PKL yang berdagang di lokasi tertentu di kutip uang Rp 10.000 setiap hari. Misalnya terdapat 5000 PKL di lokasi tsb, maka setahun (asumsi 330 hari berdagang efektif) terdapat tabung PKL sebesar Rp 16,5 M. Akumulasi dari uang tersebut dapat digunakan untuk membeli asset daerah atau swasta yang strategis namun pemanfaatannya kurang. Pungutan tersebut hendaknya dilakukan oleh lembaga yang dipercaya PKL namun harus dikuatkan oleh peraturan dari Pemda agar lebih transparan, akuntabel dan adil.
g.      Diversifikasi Retribusi
PKL di beberapa daerah dapat menjadi sumber PAD, namun dengan model diversifikasi Retribusi. Jadi tidak bisa semua bayar retribusi yang sama, sehari misalnya Rp. 500,- Di stasiun KA harusnya beda dengan di pinggir pasar atau di tempat yang sepi harusnya beda dengan tempat PKL yang mengakibatkan kemacetan karena ramai. Itu kan bisa diberlakukan sebagai disinsentif. Bisa diklasifikasi di tempat ini membayar Rp.10.000/hari, di tempat lain Rp. 5.000/hari, Rp. 3.000/hari dan di sana, yang jauh atau sepi Rp. 500/hari.
h.     Estetika PKL
Di jalan Malioboro Yogyakarta, Pemda melakukan kerjasama dengan salah satu perguruan tinggi swasta untuk membuat disain tenda bagi PKL yang praktis mudah dilepas dan rapi tenda-tenda tersebut nantinya dibuat seragam agar dalam berjualan tidak terlihat kumuh.
Di Sleman Yogyakarta, dibangun taman PKL untuk mengangkat kehidupan PKL dengan desain pariwisata dan konsumen yang dibidik adalah anak muda. Oleh karena itu pihak pengelola atau Pemda juga mengundang sponsor untuk meramaikan taman tersebut baik dengan mengadakan hiburan atau sekadar untuk mempromosikan barangnya. Desain lokasi, tenda, dan bangunan PKL juga mencerminkan jiwa daerah tersebut sehingga terlihat indah.
i.        Pembinaan Mental
Yang terakhir adalah bagaimana mengelola PKL itu sendiri. Kalau kita bicara tentang PKL itu bukan hanya mengelola tempat tetapi juga mengelola orang. Salah satu keengganan orang untuk berbelanja di pasar adalah kesadaran lingkungan yang rendah dan ketidakjujuran. Kesadaran lingkungan yang rendah terhadap sampah dan aroma yang menyengat hidung juga menyebabkan kalah populernya PKL dibanding pusat perbelanjaan modern. Dan ketidakjujuran sangat mengganggu proses jual beli di PKL. Untuk mencegah dan mengurangi hal tersebut salah satu cara dengan social value system atau nilai-nilai yang mengikat di masyarakat. Upaya pembinaan mental terhadap PKL perlu dilakukan agar PKL menjadi lebih jujur dan sadar lingkungan.
Pembinaan mental dapat dilakukan dengan mengadakan kajian keagamaan yang berkenaan dengan masalah muamalah atau himbauan yang dikemas dalam nuansa religius baik melalui media tatap langsung, selebaran, dsbnya
V.      Hipotesa
Berdasarkan paparan diatas ada beberapa point hipotesa untuk menyelesaikan masalah PKL yaitu: Ketegasan dan konsistensi aparat, pendekatan vertikal, daya dukung lingkungan, CSR, Aspiratif, Pemberdayaan ekonomi, Diversifikasi Retribusi, Estetika PKL, dan pembinaan mental. Namun hipotesa tersebut perlu di sempurnakan dan diuji obyektifitas, validitas dan realibitas agar dapat menjadi solusi yang real bagi PKL di kota Bogor.
VI.      Penelitian
1.      Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian asosiatif (pengaruh). Metode ini digunakan untuk melihat sejauh mana pengaruh Ketegasan dan konsistensi aparat, pendekatan vertikal, daya dukung lingkungan, CSR, Aspiratif, Pemberdayaan ekonomi, Diversifikasi Retribusi, Estetika PKL, dan pembinaan mental terhadap alternatif penanganan PKL.  Faktor mana yang memberikan nilai pengaruh paling besar akan diintervensi atau dijadikan prioritas kegiatan.
2.      Teknik Sampling
Idealnya penelitian ditujukan kepada semua stake holder yaitu Pemda (Ketegasan dan konsistensi aparat, pendekatan vertikal, daya dukung lingkungan, CSR), PKL (semua pendekatan pembangunan berkelanjutan), dan masyarakat (daya dukung dan Estetika PKL). Namun mengingat keterbatasan dana dan waktu maka penelitian di tujukan kepada PKL saja. Teknik pengambilan sample dengan menggunakan stratified random sample, dengan cara menyebarkan kuesioner pada PKL. Jumlah PKL di Bogor sekitar 15.000 tahun 2007. Idealnya minimal sampel 10% dari populasi yaitu 1500 PKL namun mengingat keterbatasan dana dan waktu maka pengambilan sample dilakukan dengan pola pengambilan di berbagai titik. Titik PKL di Bogor ada 39 titik, diambil 10% dari 39 titik yaitu 4 titik dan dari setiap titik diambil 10% sampel.
3.      Teknik Pengumpulan Data
a.       Observasi atau pengamatan langsung ke lapangan
b.      Wawancara terstruktur, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan mengajukan daftar pertanyaan tertulis kepada PKL
4.      Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang akan diteliti meliputi Ketegasan dan konsistensi aparat (X1), pendekatan vertikal (X2), daya dukung lingkungan (X3), CSR (X4), Aspiratif (X5), Pemberdayaan ekonomi (X6), Diversifikasi Retribusi (X7), Estetika PKL (X8), dan pembinaan mental (X9) terhadap penanganan PKL (Y1). Ada sembilan variabel tidak terikat dan satu variabel terikat.
5.      Lokasi dan Jadual Penelitian
a. Lokas penelitian terdapat di 39 titik yaitu:
Jalan Siliwangi, Jalan Empang, Jalan Pahlawan, Jalan Raya, Jalan Bangbarung, Jalan Taman Kencana, Jalan Cidangiang, Jalan Malabar, Jalan Sancang, Jalan Gedong Sawah, Jalan pengadilan, C Selot,Bina Marga, Kedung Halang, Veteran, Gunung Batu, Otista, Kapten Muslihat, Mayor Oking, Paledang, Terminal Baranang Siang, Depan Tugu Kujang, Vila Indah Pajajaran, Lampu Merah Pangrango, Depan Kesatuan, Jalan Nyi Raya Permas, Jalan Dewi Sartika, Jalan MA. Salmun, Jalan Salak, Jalan Lodaya Rendah, Jalan Soleh Iskandar, Depan Balai Binarum, Depan Bogor Permai, Pertigaan Regina Pacis, Jalan Surya Kencana, Merdeka, Plaza Jambu Dua, Depan Hero Pajajaran, Air Mancur.
Diambil 4 titik utama yaitu Jalan Nyi Raya Permas, Jalan Dewi Sartika, Jalan MA. Salmun, dan Merdeka.


[1] "Katanye" Kota Kaki Lima., Departemen Pekerjaan Umum PU-Net. URL diakses pada 13 Desember 2006.



[2] Abraham H Maslow, Motivation and Personality, Harper & Row, New York 1954

[3] Pemda Kota Bogor, Bebas Pedagang Kaki Lima Dan Inkubasi Pedagang Kecil Kota Bogor, 2002
[4] LKPJ, Walikota Bogor 2006
[5] Bambang W.S. dan Sri L.M., Klasifikasi dan Kajian Spasial Kawasan Pedagang Kaki Lima Di Kota Bogor, BAKOSURTANAL 2005 Bambang W.S. dan Sri L.M., Klasifikasi dan Kajian Spasial Kawasan Pedagang Kaki Lima Di Kota Bogor, BAKOSURTANAL 2005
[6] Pendekatan ini merupakan kolaborasi dari berbagai pendekatan di Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Bangkok
>[3] Pemda Kota Bogor, Bebas Pedagang Kaki Lima Dan Inkubasi Pedagang Kecil Kota Bogor, 2002
[4] LKPJ, Walikota Bogor 2006
[5] Bambang W.S. dan Sri L.M., Klasifikasi dan Kajian Spasial Kawasan Pedagang Kaki Lima Di Kota Bogor, BAKOSURTANAL 2005 Bambang W.S. dan Sri L.M., Klasifikasi dan Kajian Spasial Kawasan Pedagang Kaki Lima Di Kota Bogor, BAKOSURTANAL 2005
[6] Pendekatan ini merupakan kolaborasi dari berbagai pendekatan di Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Bangkok

Get This 4 Column Template Here
Get More Templates Here